Sentralisasi Islam Nusantara

SENTRALISASI ISLAM NUSANTARA

ilustrasi_100813132721Oleh: Khoirul Huda

2.1   Masuknya Islam di Indonesia

Nusantara dan Indonesia adalah dua kata yang menunjuk pada satu wilayah khusus, namun pada situasi dan kondisi yang berbeda. Nusantara mewakili masa-masa awal keberdaan wilayah yang kini bernama Indonesia. Nusantara bersal dari kata “Nusa” dan “Antara”. “Nusa” berarti pulau atau tanah air. Sedangkan “Antara” berarti jarak, sela, selang. Dengan pengertian itu, bahwa Nusantara berarti pulau-pulau yang terletak di antara dua, tepatnya dua benua yaitu benua asia dan australia. Juga di antara dua samudra, samudra hindia dan pasifik.

Penamaan demikian tidak lain karna banyaknya pulau di nusantara yang berjumlah kurang lebih 17.000 pulau. Oleh karena itu banyak yang menamai sebagai benua maritim. Sementara itu, kata “Indonesia” berasal dari bahasa latin. “Indus”  yang berarti India, dan “Neos” dalam bahasa yunani yang berarti pulau. (Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan: sebuah refleksi  sejarah (Bandung:Mizan,2009) hlm.25)

Sebelum datangnya islam, masyarakat nusantara telah menganut dua tradisi kepercayaan agama yang berbeda. Yaitu Agama asli lokal, kepercayaan dinamisme dan animisme, serta agama yang disebut agama impor karena berasal dari luar nusantara yang diadopsi oleh indonesia juga. Yaitu Hindu dan Budha, yang semuanya itu mengacu pada eksistensialismenya masing-masing dan bukan pada misinya. Dinamisme dan Animisme disebut agama dan kepercayaan lokal karena keduanya lahir dari Nusantara. Sedangkan hindu dan budha disebut agama dan kepercayaan impor karena keduanya lahir dari India.

Dinamisme adalah suatu keyakinan bahwa tiap-tiap benda mempunyai kekuatan yang disebu “Mana”. “Mana” adalah kekuatan yang tidak kasat mata. Baik kekuatan ghoib, ataupun misterius. Mana biasanya terdapat pada benda-benda berefek besar. Seperti singa, kayu, manusia, batu dll.(Harun Nasution, Falsafah Agama (jakarta:Bulan bintang,1991) hlm. 23). Keyakinan animisme dalam persepektif kacamata perbandingan agama dan filsafat disebut animisme karena berasal dari kata “Anima”. “Anima” dalam bahasa latin diartikan jiwa atau roh. Secara terminologi, meyakini bahwa semua benda-benda mempunyai jiwa atau roh. Animisme merupakan keyakinan kelanjutan dari dinamisme, dan animisme adalah satu tingkat lebih tinggi dari pada dinamisme.

 Disamping dinamisme dan animisme ada keyakinan kelanjutan dari kedua keyakinan tersebut. Politeisme yaitu mempercayai adanya banyak tuhan, lebih tinggi dari ini yaitu henotoisme, mempercayai satu tuhan. Namun, juga mengakui adanya banyak tuhan selain dari pada yang dipercayainya.

Dilihat dari asal usulnya, islam juga termasuk kedalam agama impor. Karena berasal dari bangsa arab. Posisinya di indonesia tidak lebih dari sebagai pendatang baru, seperti halnya agama hindu-budha. Oleh karna itu, kedatangannya ke nusantara adalah untuk mencari ruang bereksistensi di antara agama-agama dan ajaran-ajaran yang telah ada dan mapan seperti dinamisme dan animise dan hindu- budha di atas. Untuk mengetahui prosesi bereksistensinya itu, islam perlu dilihat dari proses masuknya agama ini di nusantara. Meskipun prosesi masuknya islam ke nusantara masih banyak memicu kontroversi.

Dalam hal di atas, tidak adanya kesepakatan di antara pengamat sejarah ataupun peneliti mengenai masuknya islam ke indonesia. Karena mereka berbeda penndapat dalam hal masuknya islam ke indonesia. Diantaranya :

a)      Azyumardi arza dia menyebutkan 3 hal tentang prosesi masuknya islam di indonesia. Yaitu: asal, pembawa dan waktu. (Azyumardi Azra, Jaringan ulama’ timur tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII: akar pembaharuan islam Indonesia (Jakarta:Kencana,2005) hlm.2)

b)      Nur syam, dia menyebutkan 4 hal tentang hal tersebut. Yaitu: dimana, kapan, dari mana islam datang, dimana tempat berkembangnya islam di nusantara pada saat itu. ( Nur Syam, islam pesisir (Yogyakarta:LkiS,2005) hlm.59)

c)      Noordyun, dia berpedapat bahwa islam masuk dalam beberapa tahapan. Yaitu: kedatangan, penerimaan dan penyebaran. Ahmad Saewang, Islamisasi Kerajaan Gowa abad VI sampai VII (jakarta:Yayasan Obor,2005) hlm.80)

Dari beberapa pendapat peneliti di atas didapatkan sebuh kesimpulan. Yaitu bahwa hal tersebut menyangkut pada tempat asal islam dilahirkan, pembawa pertama agama islam ke indonesia, waktu kedatangan agama islam ke indonesia, tempat pertama agama islam berlabuh di nusantara, daerah di mana islam berkembang. Untuk menjawab semua itu, juga banyak tokoh- tokoh yang berpendapat dalam hal di atas. Antara lain yaitu Drewes dan Snouck Hurgronje, S.Q Fatmi, Thomas w. Arnold, Naguih Al-Attas Housein Djayaningrat.

Semua pendapat dari tokoh-tokoh di atas mempunyai persepsi masing-masing sehingga berbeda-beda dalam prosesi masuknya islam di nusantara. Namun demikian, hal yang penting dicatat adalah bahwa islam tentu saja datang dari arab sebagai negara kelahiran agama islam. Yang prosesi masuknya melalui  perdagangan. Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat pada saat itu adalah memiliki tradisi dan semangat berdagang ke luar wilah mereka.

2.2   Sentral Percabangan Dalam Islam

Dua sumber penting yang menjadi rujukan pokok dalam agama islam. Yang selalu menjadi refrensi utama bagi pemeluk- pemeluk agama islam, jika hendak memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Baik yang menyangkut persoalan keagamaan pada umumnya, sosial, politik, ekonomi, budaya dan lingkungan. Sumber rujukan untuk yang pertama adalah Al-Qur’an, sedangkan sumber yang kedua adalah Al-Hadits sebagai sejarah hidup Nabi Muhammad SAW. Fundamentalis values yang ada dalam Al-Qur’an yang terjabarkan dan teraktualisasikan dalam perilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. (Mamin Abdullah, Studi Agama (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996) hlm.63)

Manusia diciptakan Allah dibekali dengan sebuah akal sebagai alat untuk pemahaman. Dalam hal ini, manusia mempunyai percept dan pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami dan mengartikan sesuatu. Begitu juga dalam memahami kitab refrensi mereka yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits. Maka dari itu muncullah multiisme yang telah disebutkan di awal pendahuluan yang menyebabkan munculnya golongan-golongan yang menganggap dirinya benar, bahkan menjustis kafir bagi yang tidak sepaham dengannya.

Clifford Geertz mengelompokkan agama bagi orang jawa menjadi tiga golongan: santri, abangan dan priyayi. Namun, pengelompokkan seperti ini dikritik sejumlah ilmuwan dan peneliti sosial lain. Diantaranya adalah karena Geertz mencampuradukkan antara agama dengan status sosial. Terlepas dari kritik semacam ini, apa yang dilakukan oleh Geertz merupakan upaya untuk memahami pengolongan penganut islam di nusantara. (Dr. Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam (Yogyakarta:Nadi Pustaka,2011) hlm.3)

2.2.1   islam Kolonialisasi

Dalam model aliran-aliran islam di indonesia, tidak akan lepas dari kawasan lahirnya agama islam yaitu kawasan timur tengah dan batat. Timur tengah yang memakai doktrin teologis memaksakan paham keislamannya yang berwajah timur tengah yang harus diberlakukan secara murni diindonesia dengan bercermin kepada timur tengah dan menggantikan budaya lokal. Bahkan sampai menggunakan kekerasan sebagai alatnya. Baik kekerasan wacana “sesat menyesatkan”, maupun kekerasan fisik bagi yang tidak sepaham dengan aliran atau golongannya. Apa yang dilakukan kelompok Padri, FPI, JIL, Laskar Jihad misalnya yang merupakan hanya sebagian kecil bentuk kekerasan dan pemaksaan.

Perkembanagan berbagai gaerakan fundamentalis yang diperjuangkan. Ternyata juga berimbas dan menjalar di kawasan Indonesia, lebih-lebih di kawasan perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi islam. Fenomena-fenomena ini dapat dijelaskan seperti: FPI, KISDI, KAMMI, HTI dan lain-lain. Sesungguhnya mereka dalam memahami Al-Qur’an terkesan rigid-literalis-eksklusif sedemikian rupa, sehingga menghasilkan dalam merespons tuntutan situasi dan kondisi yang cenderung selalu mengalami perubahan dan perkembangan , sehingga menghasilkan dalam merespons tuntutan situasi dan kondisi yang cenderung selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat cepat juga melahirkan cara bersikap dan bertindak mereka yang reaksioner, emosional, bahkan radikalis terhadap pandangan agama yang berbeda dengan mereka. (Muhammad Asrori, Studi Islam Kontemporer (Malang:UIN Malang PRESS,2009) hlm.79)

Pernyataan di atas dapat digambarkan dari terjadinya kasus diantaranya: penggerebekan lokasi-lokasi kemaksiatan beberapa tahun yang lalu di jakarta, pemrotesan tayangan media-masa yang dianggap maksiat beberapa saat yang lalu dan lain-lain. Menurut mereka, apa yang mereka perbuat sudah menyimpang dari pedoman yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka menganggap kasus-kasus yang bermunculan tersebut sangat amat merugikan umat islam.

Namun demikian, pernyataan di atas, hanya salah satu tamtsilan yang akan dapat dijadikan pijakan dalam menggambarkan fenomena-fenomena keagamaan dalam gerakan-gerakan sosial masyarakat. Fenomena tersebut hanya dimaksudkan terdapat dalam konservatif-tradisionalis ke dalam konversi-modernis. Pemetaan polarisasi masyarakat, paling minimal sangat juga dipengaruhi oleh orientasi ideologi gerakan yang dikembangkan, meskipun masih menurut achmad jaenuri ideologi itu sendiri bersifat tentatif, akan selalu mengalami perubahan. ( Achmad Jaenuri, Tradisi dan Modernitas:Reevaluasi polarisasi Makna Istilah (Surabaya:Program Pasca Sarjana Sunan Ampel Surabaya,2004) hlm.65)

Barat yang menjadikan islam sebagai obyek kajian dan kritis keilmuan juga tidak luput dari kekerasan dan pemaksaan. Seperti memberi lebel kelompok islam tertentu dengan fundamentalis, trdisionalis, dan irrasionalis. Model aliran di atas sebagai aliran yang disebut aliran kolonialisasi yaitu aliran yang lahir dari luar nusantara dengan adanya model pemaksaan dan kekerasan.

2.2.2 Islam Lokalitas

Untuk perbandingan adanya islam kolonialisasi, maka munculah islam lokalitas atau disebut juga islam Pribumi yang lahir di Indonesia. Yang menjadikan budaya setempat sebagai mitra dialogis islam. Tidak boleh ada pemaksaan dan pemaksaan dalam beragama yang hanya dapat memecah belah umat islam. Model ini, seperti yang di contohkan oleh Gus Dur dengan model islam Pribuminya. Sejarah menyebutkan bahwa islam lokalitas adalah model islam yang dulunya dilakukan oleh penyebar agama islam di tanah jawa khususnya Wali songo. Yang dipromotori langsung oleh salah satu dari wali songo tersenut yaitu sunan kalijaga. Beliau menggunakan budaya-budaya setempat untuk menyebarkan agama islam seperti salah satu alat yang terkenal yaitu wayang sebagai media dakwah tanpa mengurangi dan menghilangkan budaya setempat. Yang dilakukan beliau merupakan salah satu upaya untuk meluruskan umat islam.

Kolonialisasi membuat islam menjadi tamu dalam rumah sendiri, namun jika lokalitas dan pribumi membuat islam menjadi tuan rumah dalam rumahnya sendiri. (Anom Surya Putra, Agamaku Terbang tinggi (Surabaya:Inspirasi,1999) hlm.3). Maka dari itu islam yang dirumuskan oleh Gus Dur, dengan menggunakan metode hermeneutik yang dapat menempatkan pada posisi yang benar dengan penafsiran yang mayoritas adalah suatu upaya melakukan rekonsiliasi islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal, agar buday lokal tidak hilang (Kazuo Shimogaki, Kiri Islam (Yogyakarta:LkiS,1993) hlm.6). Penegasan kembali nilai-nilai islam cenderung dibatasi pada nilai-nilai yang terkandung potret diri tradisional sebagaimana yang dipahami oleh kaum islam awam. (Prof. William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1997) hlm.284) Dan sekarang muncul NU sebagai organisasi bayang-bayang walisongo secara teoritis, dalam konteks organisasi modern.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafi’i Ma’arif. 2009.  Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan: sebuah refleksi sejarah. Bandung: Mizan.

Nasution, Harun.1991. Falsafah Agama .Jakarta: Bulan bintang.

Azra, Azyumardi. 2005. Jaringan ulama’ timur tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII: akar pembaharuan islam Indonesia. Jakarta: Kencana.

Syam, Nur.2005. islam pesisir.Yogyakarta:LkiS.

Saewang, Ahmad. 2005.  Islamisasi Kerajaan Gowa abad VI sampai VII. Jakarta:Yayasan Obor.

Abdullah, Mamin.1996. Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wijaya, Aksin. 2011. Menusantarakan Islam. Yogyakarta: Nadi Pustaka.

Anom Surya Putra. 1999. Agamaku Terbang tinggi. Surabaya: Inspirasi.

William Montgomery Watt. 1997.Fundamentalisme Islam dan Modernitas Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Asriri, Muhammad. 2009. Studi Islam Kontemporer. Malang: UIN Malang PRESS.

Jaenuri, Achmad. 2004.Tradisi dan Modernitas: Reevaluasi polarisasi Makna Istilah. Surabaya:Program Pasca Sarjana Sunan Ampel Surabaya.

Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Islam.Yogyakarta: LkiS.

Leave a comment